Cara Mengatasi FOMO dan Kurangi Kecemasan

Pernah ngerasa cuma karena liat orang liburan atau beli barang baru, kamu langsung merasa ketinggalan? Itu namanya FOMO—fear of missing out. Kebanyakan orang ngalamin ini, tapi kalau dibiarin bisa bikin stres dan ngerusak mental. Nah, cara mengatasi FOMO sebenarnya bisa dimulai dari hal sederhana, seperti ngurangin eksposur media sosial atau fokus sama tujuan pribadi. Artikel ini bakal ngasih tips praktis buat ngehindarin rasa cemas berlebihan gara-gara FOMO, sekaligus bantu kamu lebih nyaman dengan kehidupan sendiri. Yuk, simak!

Baca Juga: Cara Membayar Saat Belanja Internasional Online

Apa Itu FOMO dan Dampaknya pada Mental

FOMO, atau Fear of Missing Out, adalah perasaan cemas dan tidak nyaman karena takut ketinggalan momen penting yang dialami orang lain. Ini sering muncul saat kita melihat postingan orang di media sosial—seperti liburan mewah, acara seru, atau pencapaian keren yang bikin kita merasa "hidupku kok gini-gini aja?" FOMO bukan sekadar rasa iri biasa, tapi lebih ke tekanan psikologis karena terus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain. Menurut American Psychological Association (APA), FOMO berkaitan dengan kecemasan sosial dan rendahnya kepuasan hidup.

Dampaknya pada mental bisa serius. Pertama, FOMO bikin kita susah fokus karena otak terus terdistraksi dengan apa yang dilakukan orang lain. Kedua, ini bisa memicu overthinking—"Aku harus ikut acara itu nggak ya? Nanti aku ngerasa dikucilin kalau nggak datang." Lama-lama, rasa cemas berlebihan ini bikin kita burnout. Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology bahkan menunjukkan bahwa FOMO membuat orang merasa lebih kesepian dan tidak bahagia, meski sebenarnya mereka punya banyak kesempatan untuk bahagia.

Parahnya, FOMO juga mendorong kebiasaan buruk, seperti scroll media sosial berjam-jam atau belanja impulsif cuma supaya bisa ikut tren. Kamu mungkin ngerasa "ikut" eksis, tapi sebetulnya malah nambah beban mental. Kalau dibiarkan, ini bisa berkembang jadi gangguan kecemasan. Makanya, penting banget buat mengenali pola FOMO dalam diri dan mengelolanya sebelum kehilangan kendali atas kebahagiaan sendiri.

Baca Juga: Kedalaman Makna Ibadah Shalat dalam Islam

Kenali Penyebab FOMO dalam Diri Anda

FOMO nggak muncul tiba-tiba—ada pemicu spesifik di baliknya. Salah satu penyebab utama? Media sosial. Platform seperti Instagram atau TikTok bikin kita terus terpapar highlight reel kehidupan orang lain, dan otak kita sulit membedakan antara realita dengan yang dikurasi. Menurut Harvard Business Review, algoritma media sosial sengaja dirancang untuk memicu FOMO agar kita tetap "terikat" pada platform mereka.

Selain itu, FOMO sering muncul dari rasa tidak aman (insecurity). Misalnya, kamu merasa kurang sukses dibanding teman-teman seumuran, atau khawatir dianggap "kuno" kalau nggak ikut tren terbaru. Psikolog menyebut ini sebagai social comparison theory—kecenderungan alami manusia untuk mengukur diri berdasarkan orang lain, seperti dijelaskan dalam Psychology Today.

Faktor lain termasuk kebosanankurkurangnya tujuan pribadi**. Ketika hidup terasa datar, mudah banget terjebak mengisi kekosongan dengan mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Ada juga pengaruh *fear of regret—takut menyesal di kemudian hari karena melewatkan sesuatu, meski sebenarnya nggak benar-benar ingin terlibat.

Terakhir, lingkungan sosial bisa memperparah FOMO. Misalnya, punya circle pertemanan yang sering pamer pencapaian atau grup WhatsApp yang selalu ramai bahas acara eksklusif. Tanpa disadari, tekanan eksternal ini bikin kita merasa wajib "ikut arus". Kenali pola-pola ini dulu, baru bisa cari solusinya.

Baca Juga: Manfaat Wearable Tracker untuk Pengawasan Kesehatan

Langkah Praktis Mengatasi FOMO Sehari-hari

Mulai atasi FOMO dengan batasi waktu di media sosial. Pasang timer atau fitur fitur screen time di ponsel. Studi dari University of Pennsylvania membuktikan, mengurangi penggunaan media sosial hingga 30 menit/hari bisa menurunkan tingkat kecemasan dan FOMO secara signifikan.

Coba juga buat daftar prioritas pribadi. Tulis 3-5 hal yang benar-benar penting buatmu—misalnya, belajar skill baru atau quality time dengan keluarga. Ketika muncul dorongan untuk ikut tren hanya karena "semua orang melakukannya", lihat lagi daftar ini. Apakah aktivitas itu sesuai dengan tujuanmu? Kalau nggak, skip tanpa rasa bersalah.

Latihan mindfulness juga membantu. Saat kamu merasa cemas karena melihat postingan orang, tarik napas dalam dan tanya diri sendiri: "Apa aku benar-benar ingin melakukan ini, atau hanya takut ketinggalan?" Teknik sederhana ini, seperti direkomendasikan oleh Mindful, bisa memutus siklus reaksi otomatis terhadap FOMO.

Terakhir, atur notifikasi. Matikan notifikasi grup atau aplikasi yang sering bikin kamu merasa "harus respon cepat". Beri jarak antara diri kamu dan sumber FOMO. Perlahan, otak akan terbiasa bahwa missing out bukanlah ancaman—justru bisa jadi peluang untuk fokus pada hal yang benar-benar berarti buatmu.

Baca Juga: Optimasi Backlink Berkualitas untuk Bisnis Online

Tips Jitu Mengurangi Kecemasan Akibat FOMO

Kalau FOMO udah bikin kamu overthinking sampai susah tidur, coba teknik "JOMO" (Joy of Missing Out)—kebalikan dari FOMO. Ini tentang menikmati momen ketika kamu nggak ikut keramaian. Psikolog menyarankan praktik ini untuk membangun kepuasan hidup, seperti dilansir BBC Future. Caranya? Habiskan waktu sendirian melakukan hal yang bikin kamu senang, misalnya baca buku favorit atau jalan-jalan santai, tanpa merasa perlu membagikannya ke sosmed.

Catat pencapaian kecil tiap hari juga bisa mengurangi kecemasan. FOMO sering muncul karena kita fokus pada apa yang belum kita miliki. Coba buat jurnal sederhana tentang hal-hal positif yang terjadi hari itu—bahkan hal sepele seperti masakan enak atau obrolan seru dengan teman. Menurut Greater Good Science Center UC Berkeley, kebiasaan ini meningkatkan rasa syukur dan mengurangi perbandingan sosial.

Temukan komunitas yang sehat. Lingkungan yang terlalu kompetitif atau gemar pamer akan memperparah FOMO. Cari circle yang lebih suportif, misalnya grup hobi atau komunitas pengembangan diri. Interaksi dengan orang-orang yang punya nilai serupa bisa memberi perspektif baru bahwa hidup bukanlah "lomba".

Terakhir, tanyakan: "Apa yang aku dapat kalau ikut ini?" Sebelum terjun ke suatu acara atau tren, evaluasi apakah itu benar-benar memberi nilai tambah—atau cuma sekadar pelarian dari rasa takut ketinggalan. Latihan ini membantu membuat keputusan yang lebih intentional, bukan karena tekanan sosial.

Baca Juga: Jurnal Harian Refleksi Menulis untuk Healing

Bangun Mindset Positif untuk Lawan FOMO

Lawan FOMO dengan mindset "enough is enough". Stop percaya bahwa kebahagiaan hanya ada di "sana"—pada acara yang nggak kamu datangi atau barang yang belum kamu beli. Penelitian dari The Journal of Positive Psychology menunjukkan, orang yang fokus pada kecukupan (sufficiency mindset) lebih jarang mengalami FOMO karena mereka melihat hidup sebagai sesuatu yang sudah utuh, bukan terus-menerus kurang.

Latih juga self-validation. FOMO sering muncul karena kita menggantungkan harga diri pada validasi eksternal—seperti like, komentar, atau pengakuan orang lain. Coba tulis daftar kelebihan dan nilai-nilai yang kamu banggakan dari dirimu sendiri. Ini membantu membangun kepercayaan bahwa kamu nggak perlu "ikut arus" untuk merasa berharga.

Ganti pertanyaannya. Alih-alih bertanya "Apa yang aku lewatkan?", tanyakan "Apa yang sedang aku bangun?". Fokus pada progres pribadi—sekalipun kecil—akan mengalihkan perhatian dari apa yang dilakukan orang lain. Menurut Stanford Psychology, orang yang punya tujuan jelas lebih kebal terhadap distraksi sosial.

Terakhir, ingat: hidup bukan feed Instagram. Yang kamu lihat di media sosial cuma potongan singkat—bukan cerita utuh dengan masalah dan hari-hari biasa di baliknya. Latih dirimu untuk melihat highlight reel orang dengan skeptis: "Ini cuma 1% dari hidup mereka, sisanya mungkin sama biasa-biasanya dengan milikku." Perlahan, kamu akan lebih nyaman dengan ritme hidup sendiri.

Baca Juga: Kauniyah Oil: Solusi Alami Perawatan Kulit Efektif

Manajemen Sosial Media untuk Hindari FOMO

Mulai dengan digital detox selektif. Unfollow akun yang bikin kamu sering ngerasa kurang—baik itu selebgram yang hobi pamer barang mewah atau teman yang selalu posting pencapaian. Ganti dengan akun inspiratif yang fokus pada konten edukasi atau self-growth. Menurut The Calm Blog, memfilter konten yang dikonsumsi bisa mengurangi trigger FOMO hingga 60%.

Atur jadwal khusus buat buka sosmed. Misalnya, cek Instagram cuma 2x sehari (pagi dan malam) dengan durasi maksimal 15 menit. Pasang alarm sebagai pengingat. Penelitian dari NCBI membuktikan, orang yang punya batasan waktu spesifik untuk sosmed lebih jarang mengalami kecemasan sosial.

Matikan notifikasi—khususnya dari grup atau aplikasi yang sering bikin kamu merasa "harus respon cepat". Biarkan notifikasi hanya untuk hal penting seperti pesan pribadi atau kerja. Dengan begini, kamu nggak terus-terusan terganggu oleh fear of missing out pada obrolan grup yang sebenarnya nggak urgent.

Gunakan fitur "batasi" di platform. Instagram dan Facebook punya opsi "Take a Break" atau "Snooze Notifications". Manfaatkan ini saat kamu merasa sosmed mulai mengganggu mental health.

Terakhir, jadikan sosmed sebagai tool, bukan sumber kebahagiaan. Follow hashtag atau komunitas yang sesuai minatmu—bukan sekadar stalking kehidupan orang. Dengan mindset ini, kamu bisa lebih kontrol atas apa yang kamu konsumsi, bukan jadi korban algoritma.

Baca Juga: Edukasi Pasien oleh Ahli Farmasi untuk Kesehatan Optimal

Kiat Memprioritaskan Kebahagiaan Diri Sendiri

Buat "daftar anti-FOMO"—tulis aktivitas yang benar-benar bikin kamu bahagia (misalnya masak, olahraga, atau ngobrol dengan sahabat) vs. aktivitas yang cuma kamu lakukan karena tekanan sosial. Referensi ini membantu kamu bilang "nggak" tanpa rasa bersalah. Studi dari The Happiness Lab menunjukkan, orang yang punya personal happiness criteria lebih jarang terjebak dalam aktivitas tak bermakna.

Latih delayed response. Ketika ada ajakan atau tren baru, jangan langsung bilang iya. Tunggu 24 jam untuk pertimbangkan: "Apakah ini sesuai dengan nilai dan kebahagiaanku?" Teknik ini—yang direkomendasikan oleh Behavioral Scientists—membantu mengambil keputusan lebih intentional, bukan sekadar reaksi FOMO.

Investasi**********. Alihkan energi yang biasanya habis untuk memantau kehidupan orang lain ke kegiatan yang memberi fulfillment, seperti belajar skill baru atau proyek kreatif. Semakin kamu merasakan progres pribadi, semakin kecil keinginan untuk membandingkan diri dengan orang lain.

Setel ulang definisi "me time". Kebahagiaan diri sering kalah karena kita menganggap waktu sendiri sebagai hal sepele. Coba jadwalkan me time seperti janji penting—misalnya 1 jam tanpa gadget untuk baca atau refleksi. Menurut The School of Life, kebiasaan ini mengembalikan kendali atas kebahagiaanmu sendiri.

Terakhir, ingat: kamu nggak perlu membuktikan apa pun. Kebahagiaan yang sejati datang ketika kamu berhenti menjalani hidup untuk dilihat orang lain, dan mulai hidup untuk dirimu sendiri.

pengembangan diri
Photo by Rodion Kutsaiev on Unsplash

FOMO itu wajar, tapi jangan biarkan dia mengendalikan hidupmu. Mulai dari hal kecil—angi scrollangi scroll sosmed, fokus pada tujuan pribadi, dan ingat bahwa apa yang kamu lihat di layar bukan cerita utuh. Tips mengurangi kecemasan akibat FOMO paling efektif ketika kamu sadar bahwa kebahagiaan nggak harus mengikuti standar orang lain. Latih dirimu untuk menikmati momen-momen sederhana tanpa merasa "harus ikutan". Perlahan, kamu akan menemukan ritme hidup yang bikin kamu nyaman—bukan sekadar mengejar validasi dari luar. Hidup lebih ringan kalau kita memilih untuk hadir sepenuhnya, bukan terus-terusan khawatir ketinggalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *